BAB 3 - MANUSIA MAKHLUK IBADAT
Hari, tanggal : Rabu, 20 September 2023
Resume oleh : Elida Safitri
Materi : Manusia Makhluk Ibadat
Penyaji Materi : Drs. Jajang Suryana M.Sn
Sumber: Suryana, Jajang.2010.Buku Ajar Pendidikan Agama Islam Untuk Perguruan Tinggi Umum V.2.0.Singaraja: Tespong
PENDAHULUAN
Materi resume pada bab 3 yang membahas tentang manusia makhluk ibadat ini disajikan oleh bapak Drs. Jajang Suryana M. Sn selaku dosen Mata Kuliah Pengembangan Kepribadian Pendidikan Agama Islam
Tujuan dari resume ini guna untuk bisa merumuskan lengkap dengan contoh ayat Al - Qur'an yang mendasarinya tentang posisi manusia sebagai mahluk ibadat, selain itu resume ini juga dibuat untuk menjelaskan pengertian lengkap dengan penjelasan berupa contoh dalam kehidupan sehari-hari tentang konsep ibadat dalam ajaran Islam dan posisi serta fungsi iman, ilmu, dan amal sebagai satu kesatuan nilai yang harus dimiliki oleh seorang muslim.
Secara khusus, disini saya akan memaparkan tentang bahasan materi tersebut yaitu tentang "BAB 3 - MANUSIA MAKHLUK IBADAT"
Pada materi bab 3 ini terdiri atas beberapan bahasan, yaitu :
1. Makhluk Allah yang diciptakan untuk beribadat
2. Konsep ibadat dalam ajaran Islam
3. Konsep three in one (iman-ilmu-amal)
4. Ibadat mahdhah
5. Ibadat shalat sebagai lokomotif.
3.1 Makhluk Allah yang Diciptakan untuk Beribadat
Dalam subbab pertama ini dijelaskan bahwa mahluk lain, selain jin dan manusia, telah ditetapkan Allah dalam kondisi tertentu yang
tidak mungkin berubah. Ibadat itu berarti merespons apa yang telah diberikan Allah.
Respons itu ada yang positif dan negatif. Allah telah menetapkan sejak awal penciptaan manusia “sisi buruk (fujur) dan sisi baik (taqwa)” untuk semua manusia. Artinya, manusia (termasuk jin) memiliki kebebasan memilih sisi fujur atau taqwa. Oleh karena itu kita menemukan manusia yang berprilaku menyimpang dan tidak menyimpang, termasuk juga dalam berbagai keterangan bangsa jin. Dan, semua kondisi itu diridhoi oleh Allah. Manusia diciptakan Allah sebagai mahluk yang memiliki bentuk yang sebaik-baiknya dan lebih sempurna daripada mahluk lain. Seperti yang dijelaskan dalam firman Allah
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْاِنْسَ اِلَّا لِيَعْبُدُوْنِ
Ayat tersebut menjelaskan bahwa hanya jin dan manusia yang disebutkan Allah sebagai mahluk yang harus beribadat.
3.2 Konsep Ibadat dalam Ajaran Islam
Dalam subbab yang kedua ini dijelaskan bahwa ibadat berarti mengabdi mengikuti pola dan mengembangkan pola. Pola ibadat adalah
ketentuan Allah berupa ikatan yang tidak bisa diubah dalam semua ibadat mahdhah,
ibadat yang telah dipastikan bentuk, tempat, cara, hitungan, dan sanksi pelaksanaannya. Pola ini diatur agar semua pelaksana bisa dengan mudah melakukan semua perintah. Ibadat yang terpola adalah ibadat vertikal. Jenis ibadat ini adalah ibadat utama yang harus dilakukan oleh semua manusia yang mengaku hanya berserah diri kepada Allah. Seperti yang dijelaskan dalam firman Allah
فَادۡعُوا اللّٰهَ مُخۡلِصِيۡنَ لَهُ الدِّيۡنَ وَلَوۡ كَرِهَ الۡـكٰفِرُوۡنَ
Ayat tersebut menjelasakan bahwa ibadat vertikal, banyak berupa ibadat yang melibatkan perilaku fisik dan bisa dilakukan orang perorangan tanpa perantara, yaitu “berhadapan langsung” dengan Allah.
Dalam ibadat vertikal termaktub dalam pola aturan Rukun Islam. Ia terdiri atas
ikrar dua kalimat syahadat, shalat, shaum, zakat, dan hajji.
Selanjutnya, ada pola ibadat berupa tuntunan sekaligus tuntutan Allah, telah dikemas dalam bentuk kitab di antaranya terdiri atas shuhuf-shuhuf. Fungsi shuhuf adalah sebagai pedoman yang menyertai para Nabiyullah dalam menjalankan tugasnya. Adapun iadat amaliyah yang juga merupakan menjadi tuntutan Allah kepada manusia, yaitu ibadat mu’amalat (horizontal antarmanusia) dan ibadat horizontal lainnya berupa perilaku manusia terhadap alam
Dan yang terakhir ada ibadat imani, seperti yang telah ada dalam pola Rukun Iman (mengimani
tentang keberadaan Allah Swt, keberadaan malaikat Allah, kitab-kitab Allah, rasul-rasul
Allah, keberadaan hari Qiyamat, dan keberadaan qadha serta qadar Allah), juga mengimani keberadaan mukjizat-mukjizat yang telah diberikan oleh Allah kepada para Nabi
3.3 Konsep Three-in-One ( Iman-Ilmu-Amal )
Dalam subbab yang ketiga ini dijelaskan bahwa seseorang yang mengaku muslim dituntut harus mampu merealisasikan pengakuannya sebagai muslim dalam tiga hal: iman, ilmu, dan amal.
Pengakuan semata tidaklah cukup. Misalnya, seseorang mengaku bahwa dia telah
menjadi muslim dengan ikrar dua kalimat syahadat. Syahadat adalah pengakuan awal
yang harus dilanjutkan dengan bukti-bukti tentang isi pengakuan tersebut. Seseorang
yang telah rela berserah diri hanya kepada Allah dan meyakini bahwa Muhammad adalah
nabi yang risalahnya harus dituruti, harus menunjukkan bukti kepatuhannya dalam bentuk
amal, perbuatan. Untuk melaksanakan amal maka perlu ilmu. Tanpa ilmu, seseorang tidak bisa melaksanakan ibadat secara sempurna. Iman selalu digandengakan dengan amal shalih. Allah selalu menyeru orang yang beriman sekaligus beramal shalih untuk dianugerahi pahala. Seperti yang dijelaskan dalam firman Allah QS. Al-Isra' 17: 19 yang berbunyi
وَمَنْ اَرَا دَ الْاٰ خِرَةَ وَسَعٰى لَهَا سَعْيَهَا وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَاُ ولٰٓئِكَ كَا نَ سَعْيُهُم مَّشْكُوْرًا
Dalam surat Al- Ashr, Allah mengingatkan bahwa semua manusia terkait dengan waktu,
banyak yang akan merugi. Semua manusia hanya diberi waktu yang sangat terbatas. Keterbatasan waktu itu bisa menimbulkan kerugian bagi siapapun, kecuali orang yang beriman dan beramal shalih, yang bisa memanfaatkan waktu untuk melaksanakan secara lengkap iman dan amal dan saling mengingatkan dalam kebenaran dan keshabaran. Oleh karena itu, kemuliaan manusia terletak pada keimanan dan amalnya
Orang yang beriman tanpa ilmu berada pada posisi taklid, bahkan taklid buta. Orang yang
berilmu tanpa keimanan, hasil olah pikirnya cenderung mendatangkan kerusakan, kesengsaraan masyarakat. Orang yang berilmu tanpa amal akan dilaknat oleh Allah. Dan, orang yang beramal tanpa iman, amalnya tidak akan mebuahkan pahala apapun di sisi Allah.
3.4 Ibadat Mahdhah
Dalam subbab yang keempat ini dijelaskan bahwa ada dua kategori ibadat dalam Dinul Islam. Ibadat yang dilakukan dengan pedoman ketat (sejenis pakem plus) dan ibadat yang diatur hanya esensinya, sementara pelaksanaannya bisa terkait dengan kondisi lingkungan dan zaman. Tetapi, zaman tidak bisa mengatur bentuk dan jenis ibadat ini. Zaman hanya sekadar kondisi yang menandai atau mendorong hadirnya tafsir dan ijtihad. Istilah pakem hanya dipinjam untuk menunjukkan posisi aturan yang mengikat dan menjadi pola dalam kegiatan, tetapi karena pakem buatan manusia, pakem bisa diubah kapan saja. Sementara itu, pakem plus adalah pakem atau aturan pasti yang tak bisa diubah berdasar keinginan manusia. Sejak masa Nabi saw hingga kapanpun, ibadat yang terikat oleh pakem plus, ibadat mahdhah, tetap dengan pola yang sama, dengan aturan yang pasti persis sama pola kegiatannya. Berikut bagian - bagian dari ibadah mahdhah :
1. Syahadatain, atau yang bisa disebut Ibadat ikrari ini harus mendasari semua perilaku muslim dalam menjalankan tugas kemanusiaanya sebagai mahluk ibadat yaitu, hanya berserah diri kepada Allah, mematuhi aturan (perintah dan larangan) Allah, dan mengikuti apa yang dicontohkan oleh Nabiyullah Muhammad saw:
“Asyhadu an laa ilaaha illa-Allah, wa asyhadu anaa Muhammadan Rasuulullah”. Ikrar
syahadat adalah ibadat mahdhah yang pertama
2. Shalat
Ibadat mahdhah yang kedua adalah shalat. Shalat terdiri atas shalat fardhu dan shalat sunnat. Shalat fardhu dan shalat sunnat memiliki kesamaan cara dan isi do’anya, tetapi jumlah rakaat dan waktu dalam shalat fardhu telah ditetapkan secara pasti, tak bisa diubah (kecuali dalam kondisi tertentu, kondisi rukhshah yang telah ditetap oleh Allah melalui uswah Rasulullah). Shalat wajib yang terdiri atas lima waktu shalat tertentu dengan
“Asyhadu an laa ilaaha illa-Allah, wa asyhadu anaa Muhammadan Rasuulullah”. Ikrar
syahadat adalah ibadat mahdhah yang pertama
2. Shalat
Ibadat mahdhah yang kedua adalah shalat. Shalat terdiri atas shalat fardhu dan shalat sunnat. Shalat fardhu dan shalat sunnat memiliki kesamaan cara dan isi do’anya, tetapi jumlah rakaat dan waktu dalam shalat fardhu telah ditetapkan secara pasti, tak bisa diubah (kecuali dalam kondisi tertentu, kondisi rukhshah yang telah ditetap oleh Allah melalui uswah Rasulullah). Shalat wajib yang terdiri atas lima waktu shalat tertentu dengan
jumlah rakaat yang tertentu, adalah shalat yang sangat diikat terutama oleh ketetapan waktu. Jumlah hitungan raka’at shalat pun telah ditetapkan secara ketat: Zhuhur (4 raka’at), ‘Ashar (4 raka’at), Maghrib (3 raka’at), ‘Isya (4 raka’at), dan Shubuh (2 raka’at).
Waktu, jumlah raka’at, dan cara melaksanakan shalat fardhu ditetapkan sebagaimana sabda Nabi yang mengikat pelaksanaan shalat wajib 5 waktu dengan sabdanya:
“Shalatlah sebagaimana aku melaksanakan shalat”. Artinya, pakem plus yang meletak dalam shalat wajib adalah perilaku shalat Nabi saw. Sejumlah shalat sunnat secara khusus diatur juga secara ketat, yaitu shalat-shalat sunnat rawatib dan shalat nafilah, sementara shalat sunnat lainnya bisa dilakukan dengan kondisi aturan yang lebih bebas waktu.
Untuk melengkapi, bahkan memperbaiki, kondisi shalat fardhu adalah melaksanakan shalat sunnat. Shalat sunnat diatur oleh Rasulullah secara kategoris: sunnat muakkad (rawatib) dan ghair muakkad. Contoh shalat sunnat muakkad adalah shalat sunnat rawatib yang menyertai shalat fardhu, di awal (qabliyah) maupun di akhir (ba’diyah) shalat.
Shalat sunnat qabliyah dan ba’diyah yang dilaksanakan menyertai shalat Zhuhur,
ba’diyah Maghrib, ba’diyah Isya, dan qabliyah Shubuh, adalah shalat-shalat sunnat
rawatib. Selain itu, adapun shalat sunnah yang lain ialah :
• Shalat Sunnat Syukrul Wudhu dan Tahiyyatul Masjid
• Shalat Sunnat Dhuha
• Shalat Sunnat Tahajjud dan Witir
• Shalat Tarawih
3. Zakat, hanya akan berlaku kewajibannya terkait dengn sejumlah kondisi. Zakat dilengkapi persyaratan kondisi memiliki harta (hak penuh), nishab, dan cukup haul.
ba’diyah Maghrib, ba’diyah Isya, dan qabliyah Shubuh, adalah shalat-shalat sunnat
rawatib. Selain itu, adapun shalat sunnah yang lain ialah :
• Shalat Sunnat Syukrul Wudhu dan Tahiyyatul Masjid
• Shalat Sunnat Dhuha
• Shalat Sunnat Tahajjud dan Witir
• Shalat Tarawih
3. Zakat, hanya akan berlaku kewajibannya terkait dengn sejumlah kondisi. Zakat dilengkapi persyaratan kondisi memiliki harta (hak penuh), nishab, dan cukup haul.
Seseorang yang telah dianugerahi titipan harta dengan jumlah tertentu yang mencukupi syarat wajib zakat, maka yang bersangkutan, setelah satu tahun, harus mengeluarkan sebagian hartanya dalam bentuk zakat: a) emas, perak, uang baik berbentuk uang logam maupun uang kertas; b) barang tambang dan barang temuan; c) barang
dagangan; d) hasil tanaman dan buah-buahan; dan e) binatang ternak yang merumput sendiri (jumhur ulama) atau binatang yang diberi makan oleh pemiliknya (Mazhab Maliki). Di samping harta dimaksud yaitu harta bergerak yang setiap waktu bertambah dan berkurang, dalam sejumlah keterangan, termasuk harta hasil kerja profesi.
4. Shaum, atau di lingkungan masyarakat Indonesia lebih populer dengan istilah puasa
(wajib) adalah ibadat mahdhah yang terkait ketat dengan waktu. Shaum wajib hanya disyariatkan pada bulan Ramadhan, sepanjang bulan Ramadhan yang diakhiri dengan hari raya Idul Fitri. Rangkaian kegiatannya meliputi kewjiban menahan diri dari dua syahwat: perut dan bawah perut (kemaluan), sejak terbit fajar (datangnya waktu Shubuh) hingga terbenam matahari (tibanya waktu Maghrib). Sejumlah aktivitas fisik (perilaku) maupun psikis (batin) yang juga bisa mengurangi nilai shaum bahkan “membatalkan nilai shaum” adalah perilaku menahan diri (perbuatan, sikap, rasa, angan-angan, niat, pendapat, komentar, bahkan nasihat) yang bisa mendatangkan ketidaknyamanan pribadi apalagi orang lain, secara syar’i.
5. Hajji, adalah ibadat wajib yang kewajibannya bersyarat. Artinya, kewajiban awal hajji adalah kepada semua muslim, tetapi ketika muslim tersebut belum memiliki kemampuan untuk melaksanakannya, maka kewajiban hajji sementara bisa ditangguhkan. Bahkan, bagi muslim tertentu yang belum diberi kemampuan untuk berhajji, kewajiban tersebut terus akan ditangguhkan hingga muslim tersebut mampu.
Disebutkan bahwa ibadat hajji adalah ibadat yang tergolong berat. Sisi berat yang dimaksud adalah menyangkut kemampuan tertentu. Yang dimaksud dengan kemampuan melaksanakan hajji terkait dengan kemampuan fisik (mampu melaksanakan perjalanan jauh dan melaksanakan sejumlah kegiatan rukun hajji yang memerlukan kekuatan fisik), kemampuan finansial, bahkan kemampuan yang terkait dengan keamanan baik di perjalanan maupun di tempat tujuan.
3.5 Ibadat Shalat sebagai Lokomotif
dagangan; d) hasil tanaman dan buah-buahan; dan e) binatang ternak yang merumput sendiri (jumhur ulama) atau binatang yang diberi makan oleh pemiliknya (Mazhab Maliki). Di samping harta dimaksud yaitu harta bergerak yang setiap waktu bertambah dan berkurang, dalam sejumlah keterangan, termasuk harta hasil kerja profesi.
4. Shaum, atau di lingkungan masyarakat Indonesia lebih populer dengan istilah puasa
(wajib) adalah ibadat mahdhah yang terkait ketat dengan waktu. Shaum wajib hanya disyariatkan pada bulan Ramadhan, sepanjang bulan Ramadhan yang diakhiri dengan hari raya Idul Fitri. Rangkaian kegiatannya meliputi kewjiban menahan diri dari dua syahwat: perut dan bawah perut (kemaluan), sejak terbit fajar (datangnya waktu Shubuh) hingga terbenam matahari (tibanya waktu Maghrib). Sejumlah aktivitas fisik (perilaku) maupun psikis (batin) yang juga bisa mengurangi nilai shaum bahkan “membatalkan nilai shaum” adalah perilaku menahan diri (perbuatan, sikap, rasa, angan-angan, niat, pendapat, komentar, bahkan nasihat) yang bisa mendatangkan ketidaknyamanan pribadi apalagi orang lain, secara syar’i.
5. Hajji, adalah ibadat wajib yang kewajibannya bersyarat. Artinya, kewajiban awal hajji adalah kepada semua muslim, tetapi ketika muslim tersebut belum memiliki kemampuan untuk melaksanakannya, maka kewajiban hajji sementara bisa ditangguhkan. Bahkan, bagi muslim tertentu yang belum diberi kemampuan untuk berhajji, kewajiban tersebut terus akan ditangguhkan hingga muslim tersebut mampu.
Disebutkan bahwa ibadat hajji adalah ibadat yang tergolong berat. Sisi berat yang dimaksud adalah menyangkut kemampuan tertentu. Yang dimaksud dengan kemampuan melaksanakan hajji terkait dengan kemampuan fisik (mampu melaksanakan perjalanan jauh dan melaksanakan sejumlah kegiatan rukun hajji yang memerlukan kekuatan fisik), kemampuan finansial, bahkan kemampuan yang terkait dengan keamanan baik di perjalanan maupun di tempat tujuan.
3.5 Ibadat Shalat sebagai Lokomotif
Ibarat seseorang yang memiliki barang siap kirim yang telah tersimpan dalam sejumlah kereta barang, kekayaan tersebut tidak akan bisa diberangkatkan jika tidak tersedia kereta
lokomotifnya. Kereka lokomotif adalah kereta yang memiliki kekuatan untuk menjalankan mesin dan mengangkut kereta barang. Begitulah ibarat posisi ibadat shalat, sebagai lokomotif yang bisa mengangkut amal ibadat lainnya yang diumpamakan sebagai kereta-kereta barang. Ibadat shalat wajib adalah lokomotif yang akan mengangkut semua pahala ibadat wajib dan sunnat yang telah dikumpulkan oleh seseorang. Telah dibahas sebelumnya bahwa amal yang paling awal diperhitungkan oleh Allah swt adalah amal shalat fardhu.Perilaku shalat yang benar, harus bergandengan dengan perilaku ibadat lainnya. Artinya, shalat saja tanpa ibadat lainnya, bukan pilihan ibadat yang akan menjamin seseorang diterima ibadatnya oleh Allah swt. Shalat fardhu sebagai lokomotif tetap memerlukan keberadaan ibadat lainnya.
Komentar
Posting Komentar